Renda remuk hati. Badan lemas, energi terkuras, sehabis berhubungan badan perdana di malam pertama. Akan tetapi aktivitas tadi tak diakhiri dengan lenguh kepuasan, melainkan dengan helaan nafas kecewa. Saat melirik ke sprei romantis warna biru muda, ia tercekat, tak ada bercak darah tanda robeknya selaput dara. Berarti Astri istrinya tidak perawan lagi?
Pertanyaan ini bergaung dibenak, melahirkan beratus kecurigaan. Dengan siapa? Mengapa waktu awal pacaran, kucium saja ia tak mau? Berapa lelaki sudah masuk ke tubuhnya? Apakah aku mengenalnya?
Pemilik bisinis property di kawasan Jakarta selatan yang enggan identitasnya disebut jelas digegoroti rasa penasaran. Namun, sampai lima tahun usia pernikahan sekarang ini, setiap kali dikorek tentang itu, istrinya hanya menangis.
DOMINASI LAKI-LAKI
Malam pertama harus bernoda darah agaknya dianut juga oleh masyarakat tradisi kita di masa lalu. Sehelai kain putih dijadikan alas tidur kedua mempelai. Jika dipagi hari tak ada bercak, secara adat sang suami berhak mengembalikan mempelai putri pada kedua orangtuanya. Pernikahan batal. Bahkan ada yang menuntut mahar dikembalika.
Si wanita akan dikucilkan dan menanggung malu selamanya. Sampai akhirnya ada lelaki yang bersedia mengawininya, tapi ia harus dibawa pergi dari komunitas itu. Ternyata pemuliaan keperawanan masih dianut sebagian lelaki hingga masa kini. Renda contohnya. Bahkan mungkin sebagian besar lelaki. “Saya merasa kecolongan. Ibarat membeli handphone, chasing-nya baru, tapi spare-part-nya barang second.”kesal Renda.
MAKNA SELAPUT DARA
Perempuan atau ibu selalu melambangkan kesucian, ditempatkan secara sakral, dan dijaga kesucianya. Misalnya, istilah Ibu Pertiwi, atau Shinta Obongdalam kisah Ramayana. Jika tak mau simbol itu rusak, perempuan harus bisa menjaga diri. Ingat, perempuan adalah yang di “empu”-kan.
Mengapa Tuhan memberi perempuan selaput dara, dan tidak tidak selaput perjaka pada lelaki? Karena, perempuan diberi tuhan sebuah rahim. Di sinilah Tuhan meletakan makhluk ciptaan-Nya. Tuhan mau, anak yang didalam rahim itu jelas orangtuanya, bin maupun bintinya. Itulah maka dengan selaput dara ditutup-Nya jalan menuju rahim tempat sperma membuahi sel telur. Hanya suami sah yang berhak memasukan sperma untuk membuahi sel telur, sehingga anak itu jelas bin dan bintinya.
Secara psikologis, bila seseorang tak jelas siapa bapaknya akan repot seumur hidupnya. Kalau siapa ibunya? mudah dilacak, yakni siapa yang melahirkan dia. Tapi siapa bapaknya? tak ada saksi yang melihat. Itulah mengapa ada selaput dara.
PASANGAN SEOLAH BERPENGALAMAN
Lain Renda, beda pula pengalaman Erik. Pengusaha warung makan di Kota Bandung yang juga jati dirinya tak mau disebutkan ini berpacaran satu tahun sebelum menikah. Mereka sama-sama menjaga susila, sampai tiba di pelaminan. Tapi apa yang terjadi di ranjang?
“Aku kaget. Istriku ternyata aktif sekali, amat mengerti mana organku yang perlu dikelola, bahkan reaksinya selama berhubungan badan menujukan ia sudah expert. Tapi, heranya, sepreiku berdarah,” adu Erik. Ia tak percaya jika istrinya melakukan operasi selaput dara. Jika istrinya melakukan seks pranikah bersama orang lain rasanya juga tak mungkin. Istrinya guru yang amat menjaga norma agama.
Jadi, walau pernikahan berjalan terus sampai kini mereka punya dua anak, Erik tetap memendam rasa penasaran itu.
MENGAKU ATAU JANGAN?
Ternyata yang membuat perkawinan bermasalah bukan cuma keperawanan, melainkan juga kehilangan keperjakaan. Meskipun telah ditutupi rapat, rasa bersalah tetap membayangi karena telah membohongi pasangan, dan terutama pertanggungjawaban pada yang di Atas.
“Bagai makan buah simalakama, kalau toh rahasia dibuka, akan rusaklah semuanya. Lebih baik memang ditutup saja, lalu menyesali, takkan mengulangi, dan bertobat. Bertekadlah menjadi orang yang baru”. Sering terjadi, baik perempuan maupun lelaki, jika berterus terang malah menjadi bubur, baik sebelum maupun sesudah pernikahan. Padahal, peristiwa itu sudah tidak ada lagi hubunganya sama sekali dengan mereka pada saat ini.
Pernah ada seorang gadis yang mengakui dirinya tak perawan lagi. Bagi sang calon suami, hal itu tak jadi masalah karena ia amat mencintainya, ia bisa menerimanya, dan mereka pun menikah di Bandung. Sepanjang delapan tahun pernikahan mereka, yang telah membuahkan dua orang putri, tak terjadi apa-apa, adem ayem, tak pernah terjadi pertengkaran sekecil apapaun.
Pernikahan seharmonis itu, ternyata neraka bagi sang istri. Setiap ada masalah ia pendam sendiri tak ingin diungkap pada suami yang menurut dia sudah berbaik hati mau mengawininya. Bagaimana nasibnya yang sudah tak perawan lagi, mana ada lelaki yang sudi menerimanya, kecuali suaminya itu. Lama kelamaan, karena selalu memendam perasaan, akhirnya sang istri tak tahan lagi, lalu meminta cerai.
Si suami kaget, bingung, dan heran. Ia merasa perkawinanya baik-baik saja. “Si istri merasa tertekan, padahal yang menekan perasaanya sendiri, yang berkaitan dengan masa lalunya.
MASA LALU SAMA KELAMNYA?
Untuk apa menanyakan masa lalu pasangan kalau bukan untuk lebih saling mengenal? Setelah mengetahui, disitulah titik tempat menimbang apakah diteruskan atau tidak? Kalau keputusanya akan menerima, lupakan masa lalunya, terimalah di titik ini lalu lihatlah ke masa depan. Masa lalu hanya referensi.
Celakanya jika keduanya sama-sama tak suci lagi. Memang rasanya cukup menyakitkan. Keduanya harus punya komitmen bahwa masa lalu berakhir di sini. Hari ini dan esok adalah lembaran baru yang akan disi bersama. Hanya saja, keduanya harus berkonsekuen, jangan nanti dibangkit-bangkitkan lagi. “Bagaimana mau menuju hari esok, jika masa lalu terus menggelayuti?
Kesabaran berlapis agaknya wajib dimiliki kaum perempuan. Dengan mengetahui masa kelam suaminya, bukan hal gampang menerima begitu saja kenyataan bahwa seorang wanita telah mendahuinya. Telah merampok keperjakaan suaminya.
Masa lalu, ada yang kita ingin mendapatkanya, ada yang sengaja atau tak sengaja mendapatkanya, karena desakan kondisi dan situasi. Mengapa tak bisa memaafkan masa lalu kita sendiri dan pasangan, kemudian beranjak ke masa depan?
“Apa yang terjadi saat ini, yang merupakan proses Anda berdua menuju tujuan yang diharapkan, menjadi tontonan anak-anak anda kelak, Ingatlah tontonan itu menjadi tuntunan buat mereka. Jika melihat orang tuanya sering bertengkar dan saling membuka aib, bisa dibayangkan bagaimana sikap mereka terhadap kesucian perkawinan.”
Semoga Renda, Astri dan Erik membaca tulisan ini.